Sudah enam bulan ini aku mengenalnya. Perasaanku seperti ranting pepohonan yang tumbuh menjulang menuju langit mendekati matahari, seperti akar serabut yang menembusi tanah-tanah mendekati pusat bumi. Makin membesar tak tahu arah. Ke sana ke mari. SMS pembuka hari sebagai penyemangat di tiap pagi, SMS menjelang tidur, panggilan telepon, atau chatting  yang tak pwnting antara aku dan dia menjadi semacam rutinitas yang terjalin begitu saja.

Makin mengenal Mas Pandu, makin cinta saja rasanya. Tapi, aku sadar pula, di tengah perasaan yang menggembung bercampuraduk antara penasaran, ketertarikan, rindu, bahkan sampai rasacinta, ada rasa minder yang menjejal. Tiap berada di sampingnya, aku merasa punya dosa yang membukit. Dia bak seorang malaikat,dan aku sebaliknya. Bagiku, Mas Pandu terlalu bening, seperti air jernih yang dengan mudah bisa dibiasi sinar-sinar matahari yang melewatinya. Sedang, aku tak lebih hanya seperti air keruh macamsuspeni yang tak tertembus sinar sedikitpun.

Namanya selalu kusebut dalam doaku. Sebuah doa yang makin hari makin memanjang, sebuah doa sederhana sebagai pengganti rinduku padanya. Tidak pernah terbayang sebelumnya, seorang Thalita Anjani, gadis cantik-modis nan kaya akan jatuh cinta pada Pandu, pemuda alim sederhana, sekaligus ketua BEM di kampus. Pertemuan keduanya tidaklah istimewa. Hanya gara-gara payung lusuh. Pandu juga bukan tipe laki-laki yang biasa Talita ajak kencan. Sebaliknya, Talita juga bukan tipe wanita yang Pandu pernah angankan.

Namun, jika cinta memang ditakdirkan tumbuh di antara mereka, siapa bisa menolak?

Mau tau kisah kelanjutannya?

Datang aja ke perpustakaan daerah..

Ditunggu ya,

-neng-